Wahai Saudaraku, Beribadahlah
hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala tidak kepada yang Lain
Kalimat Tauhid لاَ إِلهَ إلاَّ الله
merupakan kalimat yang didakwahkan pertama kali oleh para rasul kepada umat
mereka. Semenjak rasul pertama hingga rasul terakhir dakwah mereka sama, yaitu
mengajak umat beribadah hanya kepada Allah satu-satunya, dan meninggalkan
segala peribadahan kepada selain Allah.
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Dan sungguhnya Kami telah
mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah kepada
Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.” (An-Nahl: 36)
Pada ayat di atas, Allah
subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa dakwah setiap rasul adalah mengajak
beribadah kepada Allah saja, dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya.
Inilah makna kalimat tauhid. Jadi dakwah dan agama para rasul adalah satu,
yaitu mengesakan (mentauhidkan) Allah dalam ibadah.
Perhatikan
dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus
Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan), “Berilah kaummu peringatan sebelum
datang kepada mereka azab yang pedih”. Nuh berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya
aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kalian, (yaitu)
beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku.
(Nuh: 1-3)
Pada ayat lainnya, dakwah Nabi
Nuh ‘alaihis salaam diterangkan sebagai berikut:
“Agar kalian tidak beribadah
kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab (pada)
hari yang sangat menyedihkan.” (Hud: 26)
Perhatikan
dakwah Nabi Hud ‘alaihis salaam:
“Dan kepada kaum ‘Ad (kami utus)
saudara mereka, Nabi Hud. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada
Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia.
Kalian hanyalah mengada-adakan saja.” (Hud: 50)
Perhatikan
dakwah Nabi Shalih ‘alaihis salaam:
“Kepada kaum Tsamud (kami utus)
saudara mereka, Nabi Shalih. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian
kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain
Dia. Dialah yang telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan
kalian pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah
kepada-Nya, sesungguhnya Rabb-ku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan
(doa hamba-Nya).” (Hud: 61)
Perhatikan
pula dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam:
“Ingatlah ketika Ibrahim berkata
kepada ayah dan kaumnya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian
sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia
akan memberi hidayah kepadaku”. Dan (lbrahim ‘alaihis salaam) menjadikan
kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali
kepada kalimat tauhid itu.” (Az-Zukhruf: 26-28)
Demikian
pula dakwah Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam:
“Padahal Al-Masih (sendiri)
berkata: “Wahai Bani Israil, beribadahlah kalian kepada Allah Rabb-ku dan Rabb
kalian.” Sesungguhnya orang yang menyekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka
pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat tinggalnya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang zalim (musyrik) itu seorang penolong pun.
(Al-Maidah: 72)
Masih banyak lagi contohnya,
semua para rasul tersebut berdakwah kepada satu kalimat yang sama, yaitu
beribadah kepada Allah satu-satu-Nya tiada sekutu bagi-Nya dan tinggalkan
segala peribadatan kepada selain Allah.
Demikian
pula dakwah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang
Allah terangkan dalam firman-Nya,
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku
hanya beribadah kepada Rabb-ku dan aku tidak menyekutukan sesuatu pun
dengan-Nya.” (Al-Jin: 20)
Demikianlah, kalimat tauhid
memiliki kedudukan yang sangat penting. Karenanya Allah menciptakan langit dan
bumi, karenanya Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya,
karenanya terdapat garis pemisah antara mukmin dan kafir, karenanya Allah
tegakkan jihad fi sabilillah, karenanya Allah tegakkan neraca keadilan pada
hari kiamat kelak, dan karenanya pula Allah sediakan al-Jannah (surga) dan
an-Nar (neraka).
Maka seorang muslim dituntut
untuk memahami makna kalimat tauhid ini. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan
oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
“Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa
sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak di ibadahi melainkan Allah.” (Muhammad:
19)
Al-Imam al-Biqa’i rahimahullah
berkata: “Sesungguhnya ilmu tentang (kalimat) Laa ilaaha illallah (لاَ إِلهَ إِلاَّ الله) ini merupakan ilmu yang paling agung yang dapat menyelamatkan
dari kengerian di hari kiamat.
Makna Laa ilaaha illallah
Setiap mukmin pasti mengikrarkan
kalimat tauhid tersebut dengan lisannya. Maka kalimat tersebut tentunya tidak
hanya semata-mata ucapan di lisan saja, namun harus disertai dengan ilmu dan
keyakinan tentang maknanya, serta mengamalkan konsekuensinya.
Makna kalimat ini adalah
sebagaimana dakwah yang diserukan oleh para rasul di atas, yaitu tidak ada yang
berhak diibadahi kecuali Allah semata.
Kalimat لاَ
إِلهَ إِلاَّ الله bila
ditinjau secara harfiah bermakna:
- لاَ (Laa)
: Tidak ada, atau tiada
- إله (Ilaaha) : اَلإلَهُ (Ilah) adalah sesuatu yang hati ini rela
untuk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pemujaan, kepasrahan,
pemuliaan, pengagungan, pengabdian, perendahan diri, rasa takut dan harapan,
serta penyerahan diri.
Jadi ilah maknanya adalah sesuatu
yang diibadahi, atau dengan kata lain ilah bermakna ma’bud (sesuatu yang
diibadahi)
- إلاَّ (illa)
: kecuali, atau melainkan
- الله (Allah) : Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
berkata, “Allah, Dialah yang mempunyai hak uluhiyyah (hak sebagai ilah) dan hak
untuk diibadahi atas seluruh makhluk-Nya.”
Adapun bila ditinjau dari
rangkaian kata secara utuh, maka maknanya adalah
لاَ مَعْبُوْدَ
بِحَقٍّ إِلاَّ الله
“Tiada yang diibadahi dengan
benar (haq)melainkan Allah semata.”
Di sini لاَ
إِلهَ sebagai nafyu
(peniadaan) atas segala yang diibadahi selain Allah, kemudian إِلاَّ الله sebagai
itsbat (penetapan) bahwa seluruh ibadah hanyalah milik Allah semata, tiada sekutu
bagi-Nya dalam hal ibadah, sebagaimana tiada sekutu bagi-Nya dalam hal
kekuasaan.
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,
“(Kuasa Allah) yang demikian itu,
adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (ilah/sesembahan) yang haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka ibadahi selain Allah, itulah yang batil, dan
sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Hajj: 62)
Jadi, ilah/ma’bud (sesembahan)
yang haq hanyalah Allah ‘azza wa jalla satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya.
Adapun selain Allah, memang ada yang diibadahi yang disebut ilah juga, namun
mereka adalah ilah yang batil. Adapun penyebutannya sebagai ilah hanya
semata-mata penyebutan/penamaan saja, yang tidak ada hakekatnya. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Itu tidak lain hanyalah
nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengadakannya; Allah tidak
menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah/mengibadahi)nya. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa
nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb
mereka.” (An-Najm: 23)
Oleh karena itu, dakwah para
rasul – sebagaimana keterangan ayat-ayat di atas – adalah dengan satu redaksi
yang sama, yaitu:
“Beribadahlah kalian kepada
Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) yang haq
selain Dia.”
Atau dengan redaksi yang
disampaikan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam,
“Sesungguhnya aku berlepas diri
dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku.”
(Az-Zukhruf: 26)
Ini semua merupakan
tafsir/penjelasan dari makna kalimat tauhid Laa ilaha illallah.
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah
– penulis kitab Subulus Salam, seorang ‘ulama terkenal dari negeri Yaman –
mengatakan, “Prinsip Kedua: Bahwa para rasul dan para nabi utusan Allah – mulai
dari nabi/rasul pertama hingga yang terakhir – mereka semua diutus untuk
berdakwah (mengajak) kepada prinsip mentauhidkan Allah, yaitu dengan memurnikan
peribadatan (hanya kepada-Nya). Masing-masing rasul, dakwah pertama yang mereka
serukan kepada umatnya adalah, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah,
sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) selain Dia.”;
“Janganlah kalian beribadah kecuali kepada Allah.”; “Beribadahlah kalian kepada
Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku.” Dakwah tersebut merupakan
kandungan makna kalimat Laa ilaha illallah. Para rasul mengajak umatnya untuk
mengucapkan kalimat tersebut dengan disertai keyakinan terhadap maknanya, tidak
sekedar mengucapkannya dengan lisan. Makna kalimat tersebut adalah: Mengesakan
Allah dalam ilahiyyah (hak-Nya sebagai ilah) dan ‘ubudiyyah (peribadatan),
serta meniadakan (mengingkari/menolak) segala sesuatu yang diibadahi selain-Nya
diiringi sikap berlepas diri dari sesuatu tersebut.
Prinsip ini tidak diragukan akan
kebenarannya, dan tidak diragukan pula bahwa iman seseorang tidak akan terwujud
sampai ia mengetahui makna kalimat tauhid tersebut dan merealisasikannya.”
(lihat Tathirul I’tiqad min Adranil Ilhad, karya Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah).
Maka sangat disesalkan, apabila
ada seorang muslim yang dengan lancar mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah
dalam do’a dan dzikir-dzikirnya, namun ibadah yang ia lakukan tidak murni untuk
Allah subhanahu wa ta’ala. Ibadahnya masih tercampur dengan ibadah kepada
selain Allah. Misalnya, ia masih menyandarkan nasib untung dan sialnya kepada
jimat, ia masih datang ke tempat-tempat keramat dengan keyakinan dapat
memperlancar rizki dan hajat-hajatnya yang lain. Tentu saja perbuatannya itu
bertentangan dengan kalimat Laa ilaha illallah yang sering ia lantunkan dalam
do’a dan dzikirnya.
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber: http://www.mahadassalafy.net/2012/05/beribadah-hanya-kepada-allah.html