Monday, June 25, 2012

Tauhid Adalah Dakwahnya Seluruh Rasul

Allah telah mengutus para rasul untuk menyeru kepda al haq (kebenaran) dan memberi petunjuk kepada seluruh makhluk Nya. Mereka diutus untuk menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan, agar tidak ada hujjah (alasan) bagi manusia dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka telah menyampaikan risalah, mengemban amanah, memberi nasehat kepada umatnya dan bersabar atas caci makiannya, serta berjihad di jalan Allah sampai Allah tegakkan (sempurnakan) risalah bagi mereka dan terputuslah seluruh udzur manusia. Allah berfirman:
 
“Dan sungguh Kami kelah mengutus rasul pada setiap umat (untuk menyeru ) agar beribadah hanya kepada Allah dan menjauhi thoghut (sesuatu yang disembah selain Allah), maka diantara mereka ada yang mendapatkan petunjuk dari Allah, dan ada pula yang telah pasti kesesatannya. Maka berjalanlah kalian di muka bumi, dan lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (menyelisihi rasul dan mendustakan Al Haq)”.(QS. Al Nahl:36)”
 
“Dan tidaklah kami mengutus seorang rasul sebelum kamu kecuali telah diwahyukan kepada nya bahwa sesungguhnya tidak ada Ilaah (sesembahan yang berhak untuk diibadahi) kecuali Aku (Allah). Maka beribadahlah kalian kepada-Ku.”(QS.Al Anbiya’:25)
 
“Dan tanyakanlah kepada para rasul yang telah Kami utus sebelum kamu (Muhammad) apakah Kami telah menjadikan atas mereka (manusia) untuk memberikan peribadahan kepada(berhala atau sesembahan)selain Allah yang mempunyai sifat Ar Rahman,”(QS. AZ Zukhruf:45)

Di dalam ayat ayat tersebut, Allah telah menjelaskan bahwa Dia telah mengutus para rasul untuk menyeru kepada manusia agar beribadah hanya kepada Allah, memperingatkan mereka dari kesyirikan, dan memberikan peribadahan kepada selain Allah. Para rasul telah mengemban amanah tersebut, dan telah menyerukan kepada menusia agar beribadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka telah meningalkan untuk umatnya prinsip prinsip keadilan, kebaikan dan keselamatan serta kebahagiaan yang sempurna. Tugas terpenting bagi mereka adalah menyampaikan dan menerangkan risalah, adapun hidayah dan taufik untuk menerima Al haq (kebenaran) ada di tangan Allah dan bukan ditangan para rasul atau selainnya. Allah berfirman:
 
“Bukan kewajibanmu untuk memberikan hidayah kepada mereka, akan tetapi Allahlah yang memberi hidayah (petunjuk) bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (Al Baqarah : 272)
 
“Sesungguhnya kami telah mengutus para rasul dengan bukti bukti yang nyata (mu’jizat, hujjah, dan dalil) dan menurunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan dan kebenaran yang lurus) supaya manusia melaksanakan keadilan (mengikuti para rasul).”(Al Hadiid:25)

Tidak terkecuali nabi kita Muhammad sebagai penutup, imam, dan orang yang paling mulia serta utama diantara para rasul, beliau telah mendapatkan pertolongan dan keberhasilan dalam dakwahnya dengan sempurna. Allah telah menyempurnakan agama islam dan nikmatnya kepada beliau dan umatnya, dan menjadikan syariat islam sebagai syariat sempurna yang mengandung seluruh bentuk kemaslahatan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk dua golongan (manusia dan jin) . Allah berfirman :
 
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama islam untuk kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku untuk kalian, dan telah Aku ridhoi islam sebagai agama kalian”.(QS.Al Maidah:3)
 
“Dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh umat manusia.” (QS.Saba:28)
 
“Katakanlah (wahai Muhammad),’Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah atas kalian semua (manusia dan jin), yaitu Allah yang memiliki (merajai) seluruh langit dan bumi, tidak ada Ilaah (yang berhak diibadahi) kecuali Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kalian kepada Allah dan rasulnya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya dan ikutilah Dia, supaya kalian mendapat petunjuk ke jalan yang lurus.”(QS.Al A’raf:158)

Sungguh sedikit sekali manusia yang meng-ijabah-i (menerima) dakwahnya para rasul. Kebanyakan mereka mengingkarinya, baik disebabkan karena kebodohan, taklid (mengikuti) bapak-bapak/pendahulu mereka yang sesat, atau mengikuti hawa nafsu dan perasaan. Allah berfirman :

“Bahkan mereka berkata,’Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami di atas suatu agama dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka’. Demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad) seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri kecuali orang-orang kaya di negeri itu berkata,’sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami di atas suatu agama dan sesunggguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ Katakanlah (Muhammad kepada musyrikin),’Apakah (kalian akan mengikutinya) meskipun aku membawakan untuk kalian (agama) yang lebih memberi petunjuk daripada yang kalian peroleh dari bapak-bapak kalian?’Mereka berkata,’Sesungguhnya kami mengingkari (agama) yang kamu diutus untuk menyampaikannya’. Maka kami binasakan mereka, maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan.”(QS. Az Zukhruf:22-25)

Allah berfirman ketika menyebutkan berhala laata,’Uzza, dan Manat:
 
“Itu hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian ada-adakan. Allah tidak menurunkan suatu hujjah (keterangan) untuk menyembahnya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka dan hawa nafsu (yang bathil). Sesungguhnya Rabb mereka telah mendatangkan petunjuk kepada mereka.“(QS. An Najm:23)

Masih banyak ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menyebutkan pengingkaran, kedengkian, permusuhan dan kesombongan yang dilakukan manusia kepada para rasul, padahal mereka mengetahui kebenaran. Demikian juga golongan yahudi, mereka mengenal Muhammad seperti mengenal anak-anak mereka sendiri. Akan tetapi, dengan sebab permusuhan dan kedengkian, mereka mendustakan dan tidak mau mengikuti Nabi.

Pengingkaran golongan Yahudi atas Muhammad, juga terjadi atas Fir’aun dan kaumnya. Allah 'Azza wa Jalla berfirman menyebutkan perkataan Musa ‘alaihissalam kepada Fir’aun dan kaumnya:
 
“Musa ‘alaihissalam berkata, “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tidak ada yang menurunkan mu’jizat-mu’jizat itu kecuali Rabb sekalian langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata (bagi yang mempersaksikan)....”. (QS. Al-Isro’: 102).

Allah 'Azza wa Jalla berfirman tentang Fir’aun dan kaumnya:
 
“Maka ketika mu’jizat-mu’jizat Kami yang jelas sampai kepada mereka, mereka berkata, ‘Ini adalah sihir yang nyata’. Mereka mengingkarinya karena kedhaliman mereka (sebagai karakter mereka yang dilaknat) dan kesombongan (untuk mengikuti kebenaran), padahal mereka meyakini (kebenaran) tersebut. Maka lihatlah bagaimana keadaan dan akibat orang-orang yang berbuat kebinasaan”. (QS. An Naml: 13-14).

Allah 'Azza wa Jalla berfirman tentang orang-orang kafir Quraisy yang mendustakan Muhammad:
 
“Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, sesungguhnya mereka bukan mendustakan kamu tetapi orang-orang yang dhalim itu mengingkari ayat-ayat Allah”. (QS. Al-An’aam: 33).

Orang-orang kafir Quraisy pada masa Jahiliyyah, mereka mengetahui dan mempersaksikan Muhammad sebagai seorang yang jujur dan membawa amanah, bahkan mereka memberikan gelar Al Amin (orang yang dapat dipercaya). Ketika Muhammad membawa risalah Islam, yang berlawanan dengan apa yang ada pada orang kafir Quraisy yakni yang mereka dapatkan dari bapak-bapak dan nenek moyang mereka, maka mereka mengingkari, mendustakan, memusuhi, mencaci maki, dan menyusun makar untuk membunuh Muhammad.

Ini adalah sunnatullah (ketetapan Allah) atas para rasul ‘alaihimussalam dan para da’i yang menyeru kepada Al Haq. Mereka akan mendapatkan ujian, pendustaan, dan permusuhan kemudian Allah akan memberikan akhir yang terbaik kepada mereka. Perkara demikian dipersaksikan di dalam ayat-ayat Al-Qur'aan dan Hadits yang shohih, juga kejadian yang ma’rufah (diketahui oleh umat manusia) dahulu maupun sekarang. Demikian juga persaksian Heraql (Raja Romawi) ketika bertanya kepada Abu Sofyan tentang keadaan Muhammad dan permusuhan Abu Sofyan dengannya. Setelah Abu Sofyan menerangkan keadaan beliau, maka Heraql berkata, “Demikianlah keadaan para rasul .Mereka mendapatkan ujian kemudian Allah berikan kepada mereka akhir yang terbaik”.

Sungguh Allah telah memberikan jaminan kepada para rasul ‘alaihimussalam dan pengikutnya dengan pertolongan, kekuasaan, dan akibat yang baik di dunia dan di akhirat. Allah berfirman yang artinya :
 
“Dan sungguh telah tetap kalimat Kami (di Lauh Mahfudz) kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul. Sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapatkan pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami (para rasul ‘alaihimussalam dan pengikutnya) itulah yang pasti mendapatkan kemenangan”. (QS. As Shaffat: 171-173)
 
“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, pasti Dia akan menolong kalian dan meneguhkan (menetapkan) kedudukan kalian. Dan orang-orang yang kafir maka kebinasaanlah bagi mereka dan Allah 'Azza wa Jalla membatalkan amal-amal mereka.Yang demikian itu disebabkan kebencian mereka terhadap apa yang difirmankan Allah 'Azza wa Jalla (Al-Qur'aan) maka Allah menghapuskan (pahala dan amalan mereka)”. (QS. Muhammad: 7-9)
 
“Dan sudah menjadi kewajiban Kami menolong orang-orang yang beriman”. (QS. Ar Ruum: 47)

Masih banyak ayat-ayat dalam Al-Qur'aan yang semakna dengan firman Allah 'Azza wa Jalla tersebut. Barangsiapa yang memperhatikan sunnatullah pada diri rasul dan orang-orang yang beriman, akan mengetahui kebenaran dari sisi dalil naql (apa yang dikatakan Allah dalam Al-Qur'aan) maupun dari sisi kejadian yang disaksikan oleh umat manusia, yakni pertolongan yang diberikan oleh Allah Azza wa Jalla kepada mereka.

Adapun yang menimpa sebagian dari kaum muslimin, yaitu kekalahan di beberapa medan pertempuran karena dosa-dosa yang mereka kerjakan, penyimpangan atas perintah Allah, tidak adanya persiapan yang cukup dalam menghadapi musuh-musuh Islam, atau rahasia hikmah yang tinggi dan sempurna yang dimiliki oleh Allah Azza wa Jalla. Allah berfirman:
 
“Dan seluruh musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan kalian sendiri, dan Allah Azza wa Jalla memaafkan sebagian besar dari dosa-dosa kalian”. (QS. Asy Syuraa: 30)

Allah berfirman tentang perkara yang menimpa kaum muslimin pada Perang Uhud,
 
“Dan mengapa ketika kalian ditimpa musibah (kekalahan pada Perang Uhud, yaitu terbunuhnya 70 orang kaum muslimin) padahal kalian telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuh kalian (kemenangan pada Perang Badar, yaitu terbunuhnya 70 orang musyrikin dan tertawannya 70 orang musyrikin) kalian mengatakan, ‘Dari mana datangnya kekalahan ini ?’ Katakanlah, ‘Itu dari diri kalian sendiri (kesalahan menyelisihi perintah Rasulullah )'. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Ali 'Imron: 165)
 
“Seluruh kebaikan (karunia anak, kebaikan jiwa, harta, dan lain-lain) yang kamu peroleh adalah dari Allah (keutamaan, kasih, dan rahmat Allah), dan seluruh bencana (mudlorot yang menimpa harta kekayaan, kematian anak-anak, paceklik, dan lain-lain) yang menimpamu, maka dari dosa dan kesalahan dirimu sendiri”. (QS. An Nisa’: 79)

Siapa saja yang memperhatikan dakwahnya para rasul dan keadaan ummatnya, akan mengetahui dengan jelas bahwa tauhid yang diserukan oleh mereka ada 3 macam. Dua macam ditetapkan dan diyakini oleh orang-orang musyrik yaitu Tauhid Ar-Rububiyyah dan Tauhid Al Asma’ wa As Shifat. Namun itu tidak memasukkan mereka ke dalam Islam.

Tauhid Ar-Rububiyyah adalah menetapkan dan meyakini seluruh perbuatan Rabb (Allah ‘Azza wa Jalla) seperti : menciptakan, memberi rizki, mengatur dan menghidupkan, mematikan, dan lain-lain.

Ini semua ditetapkan dan diyakini oleh orang-orang musyrik dan Allah 'Azza wa Jalla mengharuskan dengan ketetapan dan keyakinan mereka itu supaya memberikan Tauhid Al ‘Ibadah (seluruh bentuk peribadahan) hanya kepada-Nya.

Sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla:
 
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka (orang-orang musyrik yang menyembah Allah dan menyembah selain-Nya), ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan ?’ Mereka akan mengatakan Allah, maka bagaimana mereka (dapat) dipalingkan (untuk memberikan seluruh peribadahan hanya kepada Allah 'Azza wa Jalla atau mentauhidkan-Nya)”. (QS. Al ‘Ankabut: 61)

“Dan sesugguhnya jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang musyrik), ‘Siapa yang menciptakan mereka ?’ Mereka mengatakan, ‘Allah”. (Az Zukhruf: 87)

قُل مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الحَيَّ مِنَ المَيِّتِ وَيُخْرِجُ المَيَّتَ مِنَ الحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللّهُ فَقُل أَفَلاَ تَتَّقُونَ

“Katakanlah, ‘Siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang memiliki (berkuasa dan menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup (menumbuhkan tumbuhan dari biji dan sebaliknya, mengeluarkan mukmin dari kafir dan sebaliknya, mengeluarkan ayam dari telur dan sebaliknya, dan lainnya) dan siapa yang mengatur seluruh urusan ?' Maka mereka akan mengatakan, ‘Allah’. Maka katakanlah, ‘Mengapa kalian tidak bertaqwa (kepada-Nya) ?” (QS. Yunus: 31)

Makna dari firman Allah 'Azza wa Jalla أَفَلاَ تَتَّقُون adalah kenapa kalian menserikatkan (menyekutukan) Allah 'Azza wa Jalla dalam beribadah, padahal kalian mengetahui, menetapkan, dan meyakini bahwa semua yang melakukan penciptaan tersebut adalah Allah 'Azza wa Jalla.

Masih banyak ayat-ayat dalam Al-Qur'aan yang semakna dengan ayat-ayat tersebut yang keseluruhannya menunjukkan ketetapan dan keyakinan orang-orang musyrik akan perbuatan yang dilakukan oleh Allah 'Azza wa Jalla, yang dengan keyakinan itu tidak memasukkan mereka ke dalam Islam (mereka dihukumi sebagai orang-orang kafir). Semua itu disebabkan tidak ikhlash (murni)-nya mereka dalam memberikan peribadahan hanya kepada Allah 'Azza wa Jalla (dalam memberikan Tauhid Al ‘Ibadah hanya kepada Allah). Penetapan dan keyakinan mereka atas seluruh perbuatan Allah 'Azza wa Jalla (Tauhid Ar Rububiyah) sebagai hujjah (dalil) atas mereka karena Al Khaliq (Allah yang menciptakan seluruh makhluk-Nya) yang mereka yakini mengharuskan untuk memberikan Tauhid Al ‘Ibadah hanya kepada-Nya. Maka kewajiban manusia untuk memberikan Tauhid Al 'Ibadah (seluruh bentuk peribadahan) hanya kepada Allah 'Azza wa Jalla karena Dialah yang menciptakan, memberi rizki, mengatur, menghidupkan, mematikan, dan lain-lain atas seluruh makhluk-Nya.

Yang kedua adalah Tauhid Al-Asma’ wa Ash-Shifat. Banyak sekali di dalam ayat ayat al Qur’an Allah menyebutkan tentang tauhid tersebut. Dan orang orang musyrik tidak mengingkari seluruh asma dan sifat Allah, kecuali Ar Rahman saja yang mereka ingkari, sebagaimana firman Allah :
 
“dan mereka (musyrikin) mengingkari sifat Ar-Rahman (Sifat Allah yang menunjukkan keluasan rahmat atas seluruh makhluk). Katakanlah (Muhammad ) :’Dialah Rabb-ku, tiada ilah yang berhak disembah selain Dia.Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku bertaubat”.(Qs.Ar-Ra’d :30)

Pengingkaran ini disebabkan karena kesombongan dan kedurhakaan mereka. Apabila mereka tidak sombong dan durhaka, niscaya mereka akan mengetahui bahwa Allah memiliki sifat Ar Rahman, sebagaimana banyak dijumpai dalam syair syair mereka. Allah berfirman:
 
“Dia-lah Allah yang tiada ilah yang berhak disembah kecuali Dia, yang mengetahui hal ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Rahman dan Rahim”.(Qs.Al Hasyr: 22)
 
“Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Dia. Dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(QS. Asy Syuraa: 11).

“Maka janganlah engkau mengadakan sesuatupun sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui dan kalian tidak mengetahui.”(QS. An Nahl: 74).

Dan masih banyak ayat ayat yang semakna dengan ayat di atas, yang keseluruhannya menunjukan bahwa Allah mempunyai nama nama yang mulia dan sifat sifat yang tinggi. Nama dan sifat Allah menunjukan kesempurnaan yang mutlak bagi Dzat Nya, nama- nama Nya, sifat -sifat Nya, perbuatan -perbuatan Nya. Tidak ada yang menyamai satupun dari makhluk Nya.

Salaful ummah yaitu generasi sahabat, tabi’in, atba’at tabi’in, telah bersepakat atas kewajiban untuk beriman kepada seluruh ayat ayat Al Qur’an dan hadits - hadits yang shahih yang mengkhabarkan nama dan sifat Allah , dan beriman bahwa Allah mempunyai sifat - sifat tersebut secara hakiki dan bukan sebagai sifat kiasan atau mengubah makna sesungguhnya. Nama- nama dan sifat Allah sesuai dengan kesempurnaan dan kebesaran Nya. Tidak ada satu makhlukpun yang sebanding atau serupa dengan Nya. Tidak ada yang mengetahui kaifiyahnya ( bentuk dari sifat sifat Allah ) kecuali hanya Dia sendiri yang mengetahui . Allah mempunyai sifat sifat yang hakiki sesuai dengan makna dhohir dari Al Qur’an dan hadits ( misalnya mengkabarkan bahwa Allah mempunyai wajah dan tangan). Itu semua hakiki atas Allah dan tidak ada yang serupa dengan Nya dari makhlukya sebagaimana firman Allah:
 
“Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Dia. Dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(QS. Asy Syuuro: 11).

Adapun yang ketiga adalah tauhid al Ibadah (kewajiban memberikan ibadah hanya kepada Allah). Dengan tauhid ini Allah mengutus para rasul-Nya, diturunkan seluruh kitab-kitab Allah untuk didakwahkan dan diamalkan, diciptakan manusia dan jin, dan dengan sebab tauhid ini pula terjadi al khusumah (permusuhan dan pertentangan) antara para rasul dan kaumnya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya :

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat untuk menyeru: 'Sembahlah Allah saja dan jauhilah thoghut,' maka diantara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang-orang yang telah pasti kesesatannya."(QS. An Nahl: 36).

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Aku, maka beribadahlah kalian (kepadaKu)."(QS. Al Anbiya: 25).

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman tentang nabi Nuh, Shalih, Hud, Syu'aib ‘alaihimussalam yang setiap mereka berkata kepada kaumnya yang artinya :

“Hai kaumku, sembahlah Allah sekali-kali tiada ilah (sesembahan) yang berhak untuk diibadahi bagi kalian kecuali Allah."(QS. Al A'raaf: 73).

“Dan Ibrahim ketika ia berkata kepada kaumnya: 'Sembahlah oleh kalian Allah 'Azza wa Jalla dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (QS. Al Ankabut: 16).

"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah kepada-Ku."(QS. Adz Dzariyat: 56).

"Hai manusia beribadahlah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 21).
“Dan Rabb-mu telah menetapkan supaya kalian jangan menyembah kecuali kepada-Nya.” (QS. Al Isro: 23).

Dan masih banyak ayat-ayat Al Qur'an yang semakna dengan firman Allah tersebut, yang keseluruhannya menunjukkan bahwa Allah mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab Nya, menciptakan makhluk-Nya hanya untuk menyembah kepada-Nya dengan tidak menyekutukan-Nya dengan satu makhluk pun.

Bermacam-macam peribadahan yang diberikan musyrikin kepada selain Allah, diantara mereka ada yang menyembah para nabi dan orang-orang sholeh, berhala-berhala, pohon-pohon dan batu-batu, bintang-bintang dan lain-lain, maka Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab untuk mengingkari seluruh perkara tersebut, dan mendakwahkan kepada mereka untuk menyembah atau beribadah hanya kepada Allah dan tidak kepada yang lainnya. Tidak berdo'a kecuali hanya kepada Allah, tidak bertawakal kecuali kepada-Nya dan tidak mendekatkan diri dengan amalan nadzar dan penyembelihan kecuali hanya di atas perintah Allah. Demikian pula dengan seluruh bentuk dan macam ibadah (seluruh perkara yang dicintai dan diridhoi Allah berupa perkataan dan amalan yang dhohir maupun yang batin), semuanya wajib diserahkan untuk Allah semata.

Orang orang musyrik yang memberikan ibadahnya kepada para nabi, orang- orang shalih, berhala-berhala, yang bersamaan dengan itu mereka juga beribadah kepada Allah, beranggapan bahwa mereka dapat mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan syafa'at dari mereka (yang diibadahi selain Allah) di sisi Allah. Maka, Allah ‘Azza wa Jalla batalkan anggapan dan keyakinan mereka dalam Al Qur'an yang artinya :

"Dan mereka menyembah kepada selain Allah yang tidak dapat mendatangkan ke-madlarat-an kepada mereka dan tidak pula manfaat, dan mereka berkata:'Mereka itu pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah.' Katakanlah: 'Apakah kalian mengkhabarkan kepada Allah suatu perkara (yang belum pernah ada) di langit dan di bumi ?' Maka, Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka sekutukan."(QS. Yunus: 18).

"Ingatlah hanya milik Allah-lah agama yang suci (dari kesyirikan), dan orang-orang yang mengambil wali selain Allah berkata: 'Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka memberikan kepada kami syafa'at di sisi Allah.' Sesungguhnya Allah akan menghukumi (pada hari kiamat) diantara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk (hidayah) kepada orang-orang pendusta (kepada Allah) dan kafir (sangat mengingkari ayat-ayat Allah)."(QS. Az Zumar: 3)

Ketika nabi kita Muhammad ‘alaihisshalaatu wasallam menyeru kepada orang orang kafir Quraisy dan yang lainnya, dari penduduk kafir arab atas tauhid ini (tauhid Al Ibadah), mereka mengingkarinya dengan alasan bahwa apa yang diserukan oleh beliau menyelisihi dari apa yang mereka dapatkan dari bapak bapak dan pendahulu (nenek moyang ) mereka. Allah berfirman yang artinya :

“Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) apabila dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: 'Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seseorang penyair gila (yaitu Muhammad )'. Sesungguhnya dia (Muhammad ) telah datang membawa kebenaran (syariat Allah) dan membenarkan rasul-rasul sebelumnya.”(QS. Ash Shoffat: 35-37).

Ayat ini menunjukkan bentuk kekufuran dan kesombongan serta permusuhan orang-orang musyrik yang sangat banyak disebutkan dalam Al Qur'an.
Maka wajib bagi da'iilallah untuk menyeru kepada umat manusia kembali kepada agama Allah dengan dasar ilmu dan bimbingan Allah , dan bersabar dengannya serta tidak berputus asa dalam berdakwah. Mereka harus selalu mengingat janji yang diberikan oleh Allah kepada para rasul dan pengikutnya, yaitu an nashr( pertolongan ) dan at tamkin (ketetapan dan kekuasaan) di bumi, apabila mereka menolong agama-Nya, bersabar di atasnya dan istiqomah di dalam mentaati Allah dan rasul-Nya.

Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah dalam Al Qur'an, demikian pula dengan keadaan nabi kita Muhammad ‘alaihishalaatu wasallam. Beliau telah mendapatkan ujian dalam dakwahnya dan bersabar sebagaimana keadaan rasul sebelumnya. Beliau tetap istiqomah dalam dakwahnya dan berjihad di jalan-Nya dengan sebenar-benarnya. Juga para shahabat beliau, mereka bersabar memberikan pertolongan dan berjihad bersama beliau sampai Allah tinggikan agama Islam atas seluruh agama. Allah muliakan tentara tentara-Nya. Allah rendahkan dan hinakan musuh-musuh Nya, dan masuklah manusia ke dalam agama Allah (al Islam) dengan berbondong bondong.

Inilah sunatullah (ketetapan Allah) kepada para hamba Nya, tidak ada yang bisa mengubah dan mengganti sunatullah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya :

“Dan sudah menjadi kewajiban Kami menolong orang-orang yang beriman."(QS. Ar Ruum:47).

"Dan sungguh telah tetap kalimat Kami (di Lauh Mahfudz) kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapatkan pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami (para rasul dan pengikutnya) itulah yang pasti mendapatkan kemenangan."(QS. Ash Shoffat: 171-173).

Dan saya meminta pertolongan kepada Allah untuk menolong agama-Nya dan meninggikan kalimat-Nya, memperbaiki kehidupan seluruh kaum muslimin dan menyatukan hati-hati mereka di atas al haq (kebenaran), memberikan hidayah kepada kaum muslimin agar mereka bersatu di atas syari'at-Nya, memberikan pemimpin yang baik dan terbimbing di atas petunjuk-Nya, dan menyatukan mereka semua untuk menegakkan dan berhukum dengan syari'at-Nya serta menjauhkan kaum muslimin dari menyelisihi hukum-hukum Nya.
(Tamat)

(Diterjemahkan dari Risalah Fatawa Asy Syaikh Al 'Allamah 'Abdul 'Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz)

Sumber: www.darussalaf.or.id

Beribadah Hanya Kepada Allah

 
Wahai Saudaraku, Beribadahlah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala tidak kepada yang Lain
 
Kalimat Tauhid لاَ إِلهَ إلاَّ الله merupakan kalimat yang didakwahkan pertama kali oleh para rasul kepada umat mereka. Semenjak rasul pertama hingga rasul terakhir dakwah mereka sama, yaitu mengajak umat beribadah hanya kepada Allah satu-satunya, dan meninggalkan segala peribadahan kepada selain Allah.
 
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
 
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.” (An-Nahl: 36)
 
Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa dakwah setiap rasul adalah mengajak beribadah kepada Allah saja, dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya. Inilah makna kalimat tauhid. Jadi dakwah dan agama para rasul adalah satu, yaitu mengesakan (mentauhidkan) Allah dalam ibadah.
 
Perhatikan dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam:
 
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan), “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepada mereka azab yang pedih”. Nuh berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kalian, (yaitu) beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku. (Nuh: 1-3)
 
Pada ayat lainnya, dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam diterangkan sebagai berikut:
 
“Agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.” (Hud: 26)
 
Perhatikan dakwah Nabi Hud ‘alaihis salaam:
 
“Dan kepada kaum ‘Ad (kami utus) saudara mereka, Nabi Hud. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Kalian hanyalah mengada-adakan saja.” (Hud: 50)
 
Perhatikan dakwah Nabi Shalih ‘alaihis salaam:
 
“Kepada kaum Tsamud (kami utus) saudara mereka, Nabi Shalih. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Dialah yang telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Rabb-ku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (Hud: 61)
 
Perhatikan pula dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam:
 
“Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. Dan (lbrahim ‘alaihis salaam) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (Az-Zukhruf: 26-28)
 
Demikian pula dakwah Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam:
 
“Padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Wahai Bani Israil, beribadahlah kalian kepada Allah Rabb-ku dan Rabb kalian.” Sesungguhnya orang yang menyekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat tinggalnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim (musyrik) itu seorang penolong pun. (Al-Maidah: 72)
 
Masih banyak lagi contohnya, semua para rasul tersebut berdakwah kepada satu kalimat yang sama, yaitu beribadah kepada Allah satu-satu-Nya tiada sekutu bagi-Nya dan tinggalkan segala peribadatan kepada selain Allah.
 
Demikian pula dakwah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang Allah terangkan dalam firman-Nya,
 
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya beribadah kepada Rabb-ku dan aku tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (Al-Jin: 20)
 
Demikianlah, kalimat tauhid memiliki kedudukan yang sangat penting. Karenanya Allah menciptakan langit dan bumi, karenanya Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya, karenanya terdapat garis pemisah antara mukmin dan kafir, karenanya Allah tegakkan jihad fi sabilillah, karenanya Allah tegakkan neraca keadilan pada hari kiamat kelak, dan karenanya pula Allah sediakan al-Jannah (surga) dan an-Nar (neraka).
 
Maka seorang muslim dituntut untuk memahami makna kalimat tauhid ini. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
 
“Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak di ibadahi melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
 
Al-Imam al-Biqa’i rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ilmu tentang (kalimat) Laa ilaaha illallah (لاَ إِلهَ إِلاَّ الله) ini merupakan ilmu yang paling agung yang dapat menyelamatkan dari kengerian di hari kiamat.
 
Makna Laa ilaaha illallah
 
Setiap mukmin pasti mengikrarkan kalimat tauhid tersebut dengan lisannya. Maka kalimat tersebut tentunya tidak hanya semata-mata ucapan di lisan saja, namun harus disertai dengan ilmu dan keyakinan tentang maknanya, serta mengamalkan konsekuensinya.
 
Makna kalimat ini adalah sebagaimana dakwah yang diserukan oleh para rasul di atas, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata.
 
Kalimat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله bila ditinjau secara harfiah bermakna:
 
- لاَ (Laa)   : Tidak ada, atau tiada
 
- إله (Ilaaha) : اَلإلَهُ (Ilah) adalah sesuatu yang hati ini rela untuk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pemujaan, kepasrahan, pemuliaan, pengagungan, pengabdian, perendahan diri, rasa takut dan harapan, serta penyerahan diri.
 
Jadi ilah maknanya adalah sesuatu yang diibadahi, atau dengan kata lain ilah bermakna ma’bud (sesuatu yang diibadahi)
 
- إلاَّ (illa)   : kecuali, atau melainkan
 
- الله (Allah) : Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Allah, Dialah yang mempunyai hak uluhiyyah (hak sebagai ilah) dan hak untuk diibadahi atas seluruh makhluk-Nya.”
 
Adapun bila ditinjau dari rangkaian kata secara utuh, maka maknanya adalah
 
لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله
 
“Tiada yang diibadahi dengan benar (haq)melainkan Allah semata.”
 
Di sini لاَ إِلهَ sebagai nafyu (peniadaan) atas segala yang diibadahi selain Allah, kemudian إِلاَّ الله sebagai itsbat (penetapan) bahwa seluruh ibadah hanyalah milik Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dalam hal ibadah, sebagaimana tiada sekutu bagi-Nya dalam hal kekuasaan.
 
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
 
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (ilah/sesembahan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka ibadahi selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Hajj: 62)
 
Jadi, ilah/ma’bud (sesembahan) yang haq hanyalah Allah ‘azza wa jalla satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Adapun selain Allah, memang ada yang diibadahi yang disebut ilah juga, namun mereka adalah ilah yang batil. Adapun penyebutannya sebagai ilah hanya semata-mata penyebutan/penamaan saja, yang tidak ada hakekatnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
 
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah/mengibadahi)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (An-Najm: 23)
 
Oleh karena itu, dakwah para rasul – sebagaimana keterangan ayat-ayat di atas – adalah dengan satu redaksi yang sama, yaitu:
 
“Beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) yang haq selain Dia.”
 
Atau dengan redaksi yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam,
 
“Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku.” (Az-Zukhruf: 26)
 
Ini semua merupakan tafsir/penjelasan dari makna kalimat tauhid Laa ilaha illallah.
 
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah – penulis kitab Subulus Salam, seorang ‘ulama terkenal dari negeri Yaman – mengatakan, “Prinsip Kedua: Bahwa para rasul dan para nabi utusan Allah – mulai dari nabi/rasul pertama hingga yang terakhir – mereka semua diutus untuk berdakwah (mengajak) kepada prinsip mentauhidkan Allah, yaitu dengan memurnikan peribadatan (hanya kepada-Nya). Masing-masing rasul, dakwah pertama yang mereka serukan kepada umatnya adalah, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) selain Dia.”; “Janganlah kalian beribadah kecuali kepada Allah.”; “Beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku.” Dakwah tersebut merupakan kandungan makna kalimat Laa ilaha illallah. Para rasul mengajak umatnya untuk mengucapkan kalimat tersebut dengan disertai keyakinan terhadap maknanya, tidak sekedar mengucapkannya dengan lisan. Makna kalimat tersebut adalah: Mengesakan Allah dalam ilahiyyah (hak-Nya sebagai ilah) dan ‘ubudiyyah (peribadatan), serta meniadakan (mengingkari/menolak) segala sesuatu yang diibadahi selain-Nya diiringi sikap berlepas diri dari sesuatu tersebut.
 
Prinsip ini tidak diragukan akan kebenarannya, dan tidak diragukan pula bahwa iman seseorang tidak akan terwujud sampai ia mengetahui makna kalimat tauhid tersebut dan merealisasikannya.” (lihat Tathirul I’tiqad min Adranil Ilhad, karya Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah).
 
Maka sangat disesalkan, apabila ada seorang muslim yang dengan lancar mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dalam do’a dan dzikir-dzikirnya, namun ibadah yang ia lakukan tidak murni untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Ibadahnya masih tercampur dengan ibadah kepada selain Allah. Misalnya, ia masih menyandarkan nasib untung dan sialnya kepada jimat, ia masih datang ke tempat-tempat keramat dengan keyakinan dapat memperlancar rizki dan hajat-hajatnya yang lain. Tentu saja perbuatannya itu bertentangan dengan kalimat Laa ilaha illallah yang sering ia lantunkan dalam do’a dan dzikirnya.
 
Wallahu a’lam bish shawab.
 
Sumber: http://www.mahadassalafy.net/2012/05/beribadah-hanya-kepada-allah.html

Friday, June 15, 2012

Bid'ah Peringatan Isra' Mi'raj

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi

Bulan Rajab, bulan yang dihormati manusia. Bulan ini termasuk bulan haram (Asyhurul Hurum). Banyak cara manusia menghormati bulan ini, ada yang menyembelih hewan, ada yang melakukan sholat khusus Rajab dan lain-lainnya.
Di bulan ini juga, sebagian kaum muslimin memperingati satu peristiwa yang sangat luar biasa, peristiwa perjalanan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dari Makkah ke Baitul Maqdis, kemudian ke sidratul muntaha menghadap Pencipta alam semesta dan Pemeliharanya. Itulah peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Peristiwa ini tidak akan dilupakan kaum muslimin, karena perintah sholat lima waktu sehari semalam diberikan oleh Allah pada saat Isra’ dan Mi’raj. Tiang agama ini tidak akan lepas dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam .
Akan tetapi, haruskah peristiwa itu diperingati? Apakah peringatan Isra’ mi’raj yang dilakukan kaum ini merupakan hal yang baik ataukah satu hal yang merusak agama? Simaklah pembahasan kali ini, mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan kepada kita untuk memahaminya dan menerima kebenaran.
Kapan Isra’ dan Mi’raj terjadi?
Ketika mendengar sebuah peristiwa besar, mestinya ada satu pertanyaan yang akan segera timbul dalam hati si pendengar yaitu masalah waktu terjadi. Begitu pula kaitannya dengannya peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam .
Kapan sebenarnya Isra’ dan Mi’raj terjadi, benarkah pada tanggal 27 Rajab atau tidak? Untuk bisa memberikan jawaban yang benar, kita perlu melihat pendapat para ulama seputar masalah ini. Berikut kami nukilkan beberapa pendapat para ulama:
Pertama: Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqaalaniy Rahimahullah 1 berkata: “Para ulama berselisih tentang waktu Mi’raj. Ada yang mengatakan sebelum kenabian. Ini pendapat yang aneh, kecuali kalau dianggap terjadinya dalam mimpi. Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa peristiwa itu terjadi setelah kenabian. Para ulama yang mengatakan peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi setelah kenabian juga berselisih, diantara mereka ada yang mengatakan setahun sebelum hijrah. Ini pendapat Ibnu Sa’ad dan yang lainnya dan dirajihkan (dikuatkan) oleh Imam An Nawawiy dan Ibnu Hazm, bahkan Ibnu Hazm berlebihan dengan mengatakan ijma’ (menjadi kesepakatan para ulama’) dan itu terjadi pada bulan Rabiul Awal. Klaim ijma’ ini tertolak, karena seputar hal itu ada perselisihan yang banyak lebih dari sepuluh pendapat.”2
Kemudian beliau menyebutkan pendapat para ulama tersebut satu persatu.
  • Pendapat pertama mengatakan: “setahun sebelum hijroh, tepatnya bulan Rabi’ul Awal”. Ini pendapat Ibnu Sa’ad dan yang lainnya dan dirajihkan An Nawawiy
  • Kedua mengatakan: “delapan bulan sebelum hijroh, tepatnya bulan Rajab”. Ini isyarat perkataan Ibnu Hazm, ketika berkata: “Terjadi di bulan rajab tahun 12 kenabian”.
  • Ketiga mengatakan: “enam bulan sebelum hijroh, tepatnya bulan Romadhon”. Ini disampaikan oleh Abu Ar Rabie’ bin Saalim.
  • Keempat mengatakan: “sebelas bulan sebelum hijroh tepatnya di bulan Robiul Akhir”. Ini pendapat Ibrohim bin Ishaq Al Harbiy, ketika berkata: “Terjadi pada bulan Rabiul Akhir, setahun sebelum hijroh”. Pendapat ini dirojihkan Ibnul Munayyir dalam syarah As Siirah karya Ibnu Abdil Barr.
  • Kelima mengatakan: “setahun dua bulan sebelum hijroh”. Pendapat ini disampaikan Ibnu Abdilbar.
  • Keenam mengatakan: “setahun tiga bulan sebelum hijroh”. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Faaris.
  • Ketujuh mengatakan: “setahun lima bulan sebelum hijroh”. Ini pendapat As Suddiy.
  • Kedelapan mengatakan: “delapan belas bulan sebelum hijroh, tepatnya dibulan Ramadhan”. Pendapat ini disampaikan Ibnu Sa’ad, Ibnu Abi Subrah dan Ibnu Abdilbar.
  • Kesembilan mengatakan: ” Bulan Rajab tiga tahun sebelum hijroh”. Pendapat ini disampaikan Ibnul Atsir
    Kesepuluh mengatakan: “lima tahun sebelum hijroh”. Ini pendapat imam Az Zuhriy dan dirojihkan Al Qadhi ‘Iyaadh. 3
Oleh karena banyaknya perbedaan pendapat dalam masalah ini, maka benarlah apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah Rahimahullah , bahwa tidak ada dalil kuat yang menunjukkan bulannya dan tanggalnya. Bahkan pemberitaannya terputus serta massih diperselisihkan, tidak ada yang dapat memastikannya.4
Bahkan Imam Abu Syaamah mengatakan, “Dan para ahli dongeng menyebutkan Isra’ dan Mi’raj terjadi di bulan Rajab. Menurut ahli ta’dil dan jarh (Ulama Hadits) itu adalah kedustaan”. 5
Hukum Memperingati Isra’ dan Mi’raj.
Mungkinkah Islam agama yang sempurna ini mensyariatkan sesuatu yang belum jelas ketentuan waktunya? Cukuplah ini sebagai indikator kuat akan bid’ahnya peringatan Isra’ dan Mi’raj yang banyak diadakan kaum muslimin. Apalagi kita telah tahu bahwa para ulama salaf telah sepakat (konsensus) menggolongkan peringatan yang dilakukan berulang-ulang (musim) yang tidak ada syariatnya termasuk kebidahan yang dilarang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam . berdalil dengan sabda beliau:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Hati-hatilah dari hal yang baru, karena setiap hal yang baru itu bid’ah dan setiap kebidahan itu sesat. (Riwayat At Tirmidziy dan Ibnu Majah)
dan
. مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
serta:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya mak dia tertolak. (Riwayat Muslim).
Peringatan Isra’ dan Mi’raj adalah perkara baru yang tidak pernah dilakukan para sahabat dan tabiin maupun orang-orang alim setelah mereka dari para salaf umat ini. Padahal mereka adalah orang yang paling semangat mencari kebaikan dan paling semangat mengamalkan amal sholeh.6
Untuk itu berkata Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah ketika beliau ditanya tentang keutamaan malam Isra’ dan Mi’raj dan malam qadar, “… Dan tidak diketahui seorangpun dari kaum muslimin menjadikan malam Isra’ dan Mi’raj memiliki keutaman atas selainnya, apalagi diatas malam qadar. Demikian juga para sahabat g dan orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak sengaja mengkhususkan satu amalan di malam Isra’ dan Mi’raj dan mereka juga tidak memperingatinya, oleh karena itu tidak diketahui kapan malam tersebut. Peristiwa isra’ merupakan keutamaan beliau Shallallahu’alaihi Wasallam yang besar, namun demikian, tidak perintahkan mengkhususkan (mengistimewakan) malam tersebut dan tempat kejadian tersebut dengan melakukan satu ibadah syar’i. Bahkan gua Hiro’ yang merupakan tempat turun wahyu pertama kali dan merupakan tempat pilihan Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam sebelum diutus menjadi Nabi, tidak pernah sengaja di kunjungi oleh beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ataupun salah seorang sahabatnya selama berada diMakkah. Tidak pula mengkhususkan (mengistimewakan) hari turunnya wahyu dengan satu ibadah tertentu atau yang lainnya. Tidak pula mengkhususkan tempat pertama kali turun wahyu dengan sesuatu. Maka barang siapa mengkhususkan (mengistimewakan) tempat-tempat dan waktu-waktu yang diinginkan dengan melakukan satu ibadah tertentu karena termotivasi oleh peristiwa diatas atau yang sejenisnya, maka dia sama dengan ahli kitab yang telah menjadikan hari kelahiran Isa q musim dan ibadah seperti hari natal dan lain sebagainya”7
Untuk lebih memperjelas masalah hukum peringatan Isra’ Mi’raj, kami sampaikan fatwa beberapa ulama tentang hukum peringatan ini.
Pertama: An Nahaas rahimahullah 8
Beliau berkata, “Peringatan malam Isra’ dan Mi’raj adalah bid’ah besar dalam agama dan kebid’ahan yang dibuat oleh teman-teman Syaithon.”9
Kedua: Ibnul Haaj.10
Beliau berkata, “Diantara kebid’ahan yang mereka buat pada bulan Rajab adalah malam dua puluh tujuh yang merupakan malam Isra’ dan Mi’raj “11
Ketiga: Fatwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy Syaikh rahimahullah 12 dalam jawaban beliau atas undangan yang disampaikan kepada Robithoh Alam Islamiy untuk menghadiri salah satu peringatan Isra’ dan Mi’raj setelah beliau ditanya tentang hal itu. Lalu beliau menjawab,”Ini tidak disyariatkan, dengan berdasarkan Al-Qur’an, As-sunnah, Istishhab dan akal”.
Dalil Al Qur’an
Firman Allah:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridha Islam itu jadi agamamu. (QS. Al Maidah : 3)
dan firmanNya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa’ 59)
kembali kepada Allah maksudnya kembali kepada Al Quran, kembali kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam maksudnya merujuk ke Sunnahnya setelah beliau meninggal dunia.
Demikian juga firmanNya:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
Katakanlah (hai Muhammad), “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Imran: 31)
dan firmanNya:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
maka orang-orang yang menyalahi perintah-Nya hendaklah mereka takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An Nur: 63)
Dalil Sunnah
Pertama : Hadits shahih dalam shohihain dari Aisyah z bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak. (Riwayat Bukhari dan Muslim),
dan hadits shahih dalam Kitab Shahih Muslim
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak kami perintahkan maka dia tertolak (Riwayat Muslim).
Kedua: Hadits riwayat Ibnu Majah, At Tirmidziy dan dianggap shohih oleh beliau serta diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam shohihnya dari Irbaadh bin Saariyah Radhiallahu’anhu , beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
Hindarilah hal-hal yang baru, karena setiap hal yang baru itu bidah.
Ketiga: Riwayat Ahmad, Al bazaar dari Ghadhiif bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda
مَا أَحدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلاَّ رَفَعَ مِثْلَهَا مِنَ السُّنَّةِ
Tidaklah satu kaum berbuat bid’ah kecuali dihilangkan sepertinya dari Sunnah. Dan diriwayatkan oleh Ath Thabraaniy akan tetapi dengan lafadz:
مَا مِنْ أُمَّةٍ ابْتَدَعَتْ بَعْدَ نَبِيِّهَا إِلاَّ أَضَاعَتْ مِثْلَهَا مِنَ السُّنَّةِ
Tidak ada umat yang melakukan kebidahan setelah nabinya kecuali dihilangkan sunnah seukuran bid’ahnya.
Keempat: Riwayat Ibnu Majah, Ibnu Abi Ashim dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah bersabda
أَبَى اللهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
Allah tidak akan menerima amalan pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan perbuatan bid’ahnya.
Dan dalam riwayat Ath Thabraniy dengan lafadz
إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan perbuatan bid’ahnya.
Dalil Istishhaab
Hal ini tidak ada dasar perintahnya. Pada dasarnya, ibadah itu tauqifiyah, sehingga tidak boleh kita mengatakan, “Ibadah ini disyariatkan” kecuali ada dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’, dan tidak boleh pula mengatakan, “Ini diperbolehkan karena termasuk dalam maslahat mursalah, istihsaan (anggapan baik), qiyas (analogi) atau ijtihad” karena permasalahan aqidah, Ibadah dan hal-hal yang telah ada ukurannya (dalam Syariat) seperti pembagian warisan dan pidana adalah perkara yang tidak ada tempat bagi ijtihad atau sejenisnya.
Dalil Akal
Jika perayaan Isra’ dan Mi’raj bertujuan untuk mengagungkan peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu sendiri, kita katakan, “seandainya hal ini disyari’atkan, tentunya Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam merupakan orang pertama yang melaksanakannya”.
Jika perayaan itu untuk mengagungkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengenang perjuangan Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam seperti pada maulid Nabi, maka tentulah Abu Bakr Radhiallahu’anhu adalah orang yang pertama melakukannya , lalu Umar, Utsman, Ali, kemudian orang-orang setelah mereka. Disusul kemudian oleh para tabiin selanjut para imam. Padahal tidak ada seorangpun dari mereka yang diketahui melakukan hal tersebut meskipun sedikit. Maka cukuplah bagi kita untuk melakukan apa yang menurut mereka cukup.”13
Beliaupun berfatwa di dalam fatawa wa rasail beliau, “Peringatan Isra’ dan Mi’raj adalah perkara batil dan satu kebidahan. Ini termasuk sikap meniru-niru orang yahudi dan nashrani dalam mengagungkan hari yang tidak diagungkan syari’at. Pemilik kedudukan tinggi Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam lah yang menetapkan syariat. Dialah yang menjelaskan halal dan harom. Sementara para khulafa’ rasyidin dan para imam dari para sahabat dan tabiin tidak pernah diketahui melakukan peringatan tersebut.” Kemudian berkata lagi, “Maksudnya perayaan peringatan Isra’ dan Mi’raj adalah bid’ah. Maka tidak boleh bekerjasama dalam hal tersebut.”14
Keempat: Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baaz rahimahullah 15:
“Tidak disangsikan lagi, Isra’ mi’roj merupakan tanda kebesaran Allah Ta’ala yang menunjukkan kebenaran Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan ketinggian derajat Beliau disisi Allah Ta’ala . Sebagaimana Isra’ dan Mi’raj termasuk tanda-tanda keagungan Allah dan ketinggianNya atas seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَا الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَآ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Al Isra’ : 1)
Dan telah telah diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa Beliau diangkat ke langit dan dibukakan pintu-pintunya sampai Beliau melewati langit yang ketujuh. Lalu RobNya berbicara kepadanya dengan sesuatu yang dikehendakinya dan diwajibkan padanya sholat lima waktu. Allah Ta’ala pertama kali mewajibkan padanya lima puluh sholat, lalu senantiasa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam meminta keringanan sampai dijadikan lima sholat. Itulah lima sholat yang diwajibkan tapi pahalanya lima puluh, karena satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Allah k zat yang harus dipuji dan disyukuri atas segala nikmatNya.
Tidak ada dalam hadits yang shohih penentuan malam terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Semua hadits yang menjelaskan penentuan malamnya menurut ulama hadits adalah hadits yang tidak shohih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Allah Ta’ala memiliki hikmah dalam melupakan manusia tentangnya. Seandainya ada penentuannya yang absahpun kaum muslimin tidak boleh mengkhususkannya dengan satu ibadah tertentu, tidak boleh mereka merayakan peringatannya, karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya tidak memperingatinya dan tidak pula mengkhususkan ibadah tertentu padanya. Seandainya peringatannya adalah perkara yang disyariatkan, tentunya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menjelaskannya kepada umatnya, baik dengan ucapan atau perbuatan Beliau. Seandainya pernah dilakukan niscaya akan iketahui serta akan dinukilkan oleh para sahabatnya g kepada kita. Karena mereka telah menyampaikan segala sesuatu yang dibutuhkan umat dan tidak melalaikan urusan agama ini sedikitpun, bahkan mereka berlomba-lomba dalam melaksanakan kebaikan.
Maka seandainya peringatan malam Isra’ dan Mi’raj disyariatkan niscaya mereka orang pertama yang melakukannya, apalagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah orang yang sering menasehati umatnya. Beliau telah menyampaikan risalah agama sebaik-baiknya serta telah menunaikan amanah yang diembannya. Maka seandainya mengagungkan dan memperingati malam tersebut termasuk ajaran agama, maka tentunya Beliau tidak melalaikan dan menyembunyikannya.
Karena Nabi tidak mengagungkan dan memperingati malam tersebut, maka jelaslah peringatan dan pengagungan malam tersebut bukan termasuk ajaran Islam.
Begitulah Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama Islam dan menyempurnakan nikmat untuk umatnya serta mengingkari orang yang menambah-nambah syariat Islam dengan sesuatu yang tidak diizinkanNya. Allah berfirman dalam Al Qur’an
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (QS. Al Maidah : 3)
Demikian juga dalam firmanNya
أَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِىَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمُُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (selain Allah) yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan.Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (QS. Asy Syura :21)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits-hadits yang shohih telah memperingatkan bahaya bid’ah dan menjelaskan bahwa bid’ah itu sesat. Untuk memperingatkan umat ini dari besarnya bahaya bidah dan untuk menghindarkan mereka dari membuat bid’ah. Kami akan sampaikan beberapa hadits, diantaranya hadits yang shohih dalam shohihain dari Aisyah x dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam , Beliau bersabda
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
dan dalam riwayat Muslim
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya mak dia tertolak. (Riwayat Muslim).
Dan dalam shohih Muslim dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah pada hari jum’at dan mengatakan:
أَمَا بَعْدُ فَإِِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللَّهِ وَ خَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Ama Ba’du; sesungguhnya sebaik ucapan adalah kitabullah dan sebaik contoh adalah contoh petunjuk Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam , sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang dibuat-buat, dan setiap kebidahan adalah sesat.
Dalam sunan dari Al Irbaadh bin Saariyah Radhiallahu’anhu , beliau berkata
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْابِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menasehati kami dengan nasehat yang mendalam, hati bergetar dan mata meneteskan airmata. Lalu kami berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam seakan-akan nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat!. Lalu beliau berkata: “aku wasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah ,patuh dan taat, walaupun kalian dipimpin seorang budak, karena siapa yang hidup dari kalian, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka kalian harus berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnahnya para khulafa rasyidin yang memberi petunjuk setelahku. Berpeganglah kalian dan gigitlah dia dengan gigi graham kalian serta hati-hatilah dari hal yang baru, karenasetiap hal yang baru itu bidah dan setiap kebidahan itu sesat. (Riwayat At Tirmidziy dan Ibnu Majah).
Dan banyak hadits yang lain yang semakna dengan ini.
Demikian juga peringatan dan ancaman dari perbuatan bid’ah telah ada dari sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para salaf sholih setelah mereka. Karena perbuatan bid’ah adalah penambahan dalam agama dan syariat yang tidak diizinkan Allah Ta’ala serta meniru-niru kaum Yahudi dan Nashroni musuh Allah. Melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menuduh Islam tidak sempurna. Dengan demikian jelas menimbulkan kerusakan dan kemungkaran yang besar, karena Allah telah menyatakan kesempurnaan agama ini melalui firmanNya
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu (QS. Al Maidah 3)
Perbuatan bid’ah juga secara terang-terangan menyelisihi hadits-hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang memperingatkan dan mengancam kebid’ahan.
Mudah-mudahan apa yang telah kami jelaskan dari dalil-dali tersebut cukup memuaskan pencari kebenaran dalam mengingkari dan mengingatkan kebidahan ini- yaitu peringatan malam Isra’ dan Mi’raj -. Sesungguhnya dia bukanlah dari syariat Islam sedikitpun.16
Demikianlah keterangan para ulama seputar hukum merayakan peringatan Isra’ dan Mi’raj. Keterangan yang cukup jelas dan gamblang disertai dalil-dalil yang kuat bagi pencari kebenaran. Kemudian masihkah kita melakukannya, padahal peringatan tersebut satu kebidahan dan bukan termasuk ajaran Islam. Bahkan itu merupakan penambahan syariat dalam Islam dan menyerupai kelakuan ahli kitab yang telah membuat bid’ah dalam agama mereka, sehingga menjadi rusak dan hancur.
Sudahkan kita merenungkan bahaya kebidahan terhadap islam?
Cukuplah peringatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam , para sahabat dan ulama Islam sebagai peringatan bagi kita untuk sadar dan bangkit memperbaiki kondisi kaum muslimin demi mencapai kejayaan Islam.
Mudah-mudahan Allah meudahkan kita untuk memahami tulisan ini dan mudah-mudahan Allah menolong kita dalam menjalankan ketaatan kepadaNya dan untuk meninggalkan perayaan yang telah menghabiskan harta dan tenaga yang banyak akan tetapi justru merusak agama dan amalan kita semua.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com
Catatan Kaki
1 Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad Al Kinaaniy Al Asqaalaniy, seorang ulama besar dalam hadits dan fiqih, pengarang kitab Fathul Bariy Syarah Shahih Bukhari, meninggal tahun 852 H.
2 Ibnu Hajar, Fathul Bari 7/203.
3 ibid
4 lihat Zaadul Ma’aad 1/57.
5 Al Baa’its, hal 171.
6 Lihat Al Bida’ Al Hauliyah hal. 274.
7 Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad 1/58-59.
8 Beliau bernama Abu Zakariya Ahmad bin Ibrahim bin Muhammad Ad Dimasyqiy, dikenal dengan Ibnu Nahaas, seorang ulama besar yang meninggal dalam perang menghadapi Perancis tahun 814 H.
9 lihat Al Bida’ Al Hauliyah hal 279.
10 Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al Haaj, Abu Abdillah Al “Abdariy Al Faasiy, meninggal tahun 737 H.
11 lihat Al bida’ Al Hauliyah hal. 275, menukil dari Al Madkhal 1/.294.
12 Beliau bernama Muhammad bin Ibrahim bin Abdillathif bin Abdirrohman bin Hasan bin Muhammad bin Abdil Wahaab, dilahirkan di Riyadh tahun 1311 H dan meninggal di bulan Ramadhan 1398 H. Beliau pernah menjabat sebagai ketua Rabithah Alam Islamiy, Rektor Jami’ah Islamiyah dan Mufti agung kerajaan Saudi Arabia sebelum Syaikh Ibnu Baaz.
13 Lihat Al Bida’ Al Hauliyah hal. 276-279 menukil dari Fatawa wa Rasail Asy Syaikh Muhammad bin Ibrahim 3/97-100.
14 Ibid 3/103.
15 Beliau bernama Abdulaziz bin Abdillah bin Abdirrahman bin Baaz, dilahirkan tahun 1330 H di Riyadh. Beliau seorang alim besar abad ini dan menjadi mufti agung Kerajaan Saudi Arabia menggantikan Syeikh Muhammad bin Ibrahim Ali Asy Syaikh sampai meninggal tahun 1420 H.
16 Lihat catatan kaki kitab Fatawa Lajnah Daimah 3/64-66.

Wednesday, May 16, 2012

Adakah Anjuran Puasa di Bulan Rajab ?

AddThis Social Bookmark Button
Cetak PDF
puasa rajabAlhamdulillah wa shalaatu wa salaamu 'ala Rosulillah, wa 'ala aalihi wa shobihi ajma'in. Sebagian orang sempat menganjurkan bahwa banyaklah puasa pada bulan Rajab. Ada pula yang menganjurkan untuk berpuasa di awal-awal bulan Rajab. Apakah betul anjuran seperti ini ada dasarnya? Silakan ditelusuri dalam pembahasan singkat berikut ini. Semoga bermanfaat.
Aku bertanya pada Sa'id bin Jubair tentang puasa Rajab dan kami saat itu sedang berada di bulan Rajab, maka ia menjawab : Aku mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa berpuasa sampai kami berkata nampaknya beliau akan berpuasa seluruh bulan. Namun suatu saat beliau tidak berpuasa sampai kami berkata : Nampaknya beliau tidak akan puasa sebulan penuh." (HR. Muslim dalam kitab Ash Shiyam. An Nawawi membawaknnya dalam Bab Puasa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di selain bulan ramadhan)
Sebagian orang agak sedikit bingung dalam menyikapi hadits di atas, apakah di bulan Rajab harus berpuasa sebulan penuh ataukah seperti apa? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
”Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.

Saturday, March 31, 2012

YAHUDI MELEMAHKAN DENGAN ROKOK

Yahudi adalah bangsa picik yang memang jahat. Ditengah Yahudi menjadi aktor produsen asap mematikan itu, namun di saat itu pula mereka mengukutuk penggunaan (bahkan pelarangannya) di negeri mereka sendiri.
Perlu dicatat, Philip Morris, pabrik rokok terbesar di Amerika menyumbangkan 12% dari keuntungan bersihnya ke Israel.
Saat ini jumlah perokok di seluruh dunia mencapai angka 1,15 milyar orang, jika 400 juta diantaranya adalah perokok Muslim, berarti umat muslim menyumbang 35% dari jumlah perokok dunia. Laba yang diraih oleh produsen rokok bermerek Marlboro, Merit, Benson, L&M itu setiap bungkusnya pun mencapai 10%.
DR. Stephen Carr Leon yang pernah meneliti tentang pengembangan kualitas hidup orang Israel atau orang Yahudi.
Mereka memiliki hasil penelitian dari ahli peneliti tentang Genetika dan DNA yang meyakinkan bahwa nikotin akan merusak sel utama yang ada di otak manusia yang dampaknya tidak hanya kepada si perokok akan tetapi juga akan mempengaruhi "gen" atau keturunannya.
Pengaruh yang utama adalah dapat membuat orang dan keturunannya menjadi "bodoh"atau "dungu". Jadi sekali lagi, jika penghasil rokok terbesar di dunia ini adalah orang Yahudi ! Tetapi yang merokok, bukan orang Yahudi. Ironis sekali. Siapakah yang kemudian menjadi konsumen asap-asap rokok buatan Negara Zionis itu? Anda, orangtua anda, atau anak kita? Hanya kita yang bisa menjawab.
Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, kita sebagai umat Islam justru meninggalkan pilar asasi kita kepada seorang anak, yakni pendidikan Tauhid dan Al Qur'an sejak usia dini. Kita umat Islam kadang lebih sibuk pada asesoris parenting, seperti konsep "jangan katakan tidak" dan lain sebagainya. Pernah kami mendengar kenapa pendidikan Al Qur'an seperti menghafal diabaikan pada usia dini oleh psikolog muslim, dikarenakan mengganggu kognisi seorang anak. Ironis


1. Sebatang rokok mengandung 4.000 (empat ribu) zat / bahan kimia berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia, diantaranya:



  • aceton, zat penghapus cat
  • hydrogen cianide, racun untuk hukuman mati 

  • methanol, bahan bakar roket
     
  • ammonia, dimethrilnitrosamine, pembersih lantai
     
  • nepthalene, kapur barus
     
  • toluene, pelarut industri
     
  • polonium, bahan bakar korek api
     
  • arsenic, racun mematikan serangga
     
  • cadmium, bahan aki mobil
     
  • carbon monoxide dan bhutane, gas beracun dari knalpot 
2. Ada 24 penyakit fatal akibat merokok:

Rokok merupakan salah satu penyebab utama serangan jantung. Kematian seorang perokok akibat penyakit jantung lebih banyak dibanding kematian akibat kanker paru-paru. Bahkan rokok rendah tar atau rendah nikotin tidak akan mengurangi risiko penyakit jantung. Karena beberapa dari rokok-rokok yang menggunakan filter meningkatkan jumlah karbon monoksida yang dihirup, yang membuat rokok tersebut bahkan lebih buruk untuk jantung daripada rokok yang tidak menggunakan filter.

Nikotin yang dikandung dalam sebatang rokok bisa membuat jantung perokok berdebar lebih cepat dan meningkatkan kebutuhan tubuh perokok akan oksigen. Asap rokok juga mengandung karbon monoksida yang beracun. Zat beracun ini berjalan menuju aliran darah dan sebenarnya menghalangi aliran oksigen ke jantung dan ke organ-organ penting lainnya. Nikotin dapat mempersempit pembuluh darah sehingga lebih memperlambat lagi aliran oksigen. Itu sebabnya para perokok memiliki risiko terkena penyakit jantung yang sangat tinggi.

Asap rokok dari tembakau mengandung banyak zat kimia penyebab kanker. Asap yang dihisap mengandung berbagai zat kimia yang dapat merusak paru-paru. Zat ini dapat memicu terjadinya kanker khususnya pada paru-paru. Kanker paru-paru merupakan kanker yang paling umum yang diakibatkan oleh merokok. Penyebaran kanker paru-paru dalam tubuh terjadi secara senyap hingga menjadi stadium yang lebih tinggi. Dalam banyak kasus, kanker paru-paru membunuh dengan cepat.

Perokok berat yang sudah bertahun-tahun akan mengalami EMFISEMA. Emfisema merupakan penyakit yang secara bertahap akan membuat paru-paru kehilangan elastisitasnya. Jika paru-paru kehilangan keelastikannya, maka akan sulit untuk mengeluarkan udara kotor. Tanda-tandanya adalah mulai mengalami kesulitan bernapas pada pagi dan malam hari. Lalu mudah terengah-engah. Tanda lainnya adalah sering mengalami flu berat, disertai dengan batuk yang berat, dan mungkin dengan bronkhitis kronis. Batuknya sering kali tidak berhenti dan menjadi kronis.

Hasil penelitian terhadap para perokok menunjukkan bahwa wajah para perokok pria maupun wanita lebih cepat keriput dibandingkan mereka yang tidak merokok. Proses penuaan dini tersebut meningkat sesuai dengan kebiasaan dan jumlah batang rokok yang dihisap. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa para perokok berat memiliki keriput pada kulit hampir lima kali lipat dibandingkan orang yang tidak merokok. Bahkan proses penuaan dini sudah dimulai bagi para remaja yang merokok seperti kulit keriput, gigi menguning, dan nafas tak sedap.

Dampak negatif merokok tidak hanya membahayakan paru-paru, jantung, dan saluran pernapasan. Kebiasaan merokok menurut penelitian bisa merusak jaringan tubuh lainnya. Belasan penyakit yang berkaitan dengan penggunaan tembakau bahkan mencakup pneumonia (radang paru-paru), penyakit gusi, leukemia, katarak, kanker ginjal, kanker serviks, dan sakit pada pankreas. Penyebabnya karena racun dari asap rokok menyebar ke mana-mana melalui aliran darah. Merokok dapat mengakibatkan penyakit di hampir setiap organ tubuh.

Nikotin yang terhisap kedalam tubuh manusia akan merusak jaringan sel tubuh, termasuk yang paling rentan adalah sel otak. Seorang bapak perokok dipastikan akan mempunyai anak / keturunan yang rendah tingkat kecerdasannya (bodoh) karena sel otaknya telah tercemari racun rokok sejak dalam kandungan.


SUMBER :
http://www.uye.web.id/

Thursday, March 22, 2012

Pengenalan Miqot Haji Dan Umroh

Pengenalan Miqot Haji Dan Umroh

 
Miqot adalah waktu atau tempat di mana seseorang mulai berihram. Pembahasan ini perlu dipahami karena sebagian jamaah haji ada yang kurang tepat sehingga memulai ihram dari yang bukan tempatnya.
Miqot terdiri dari dua macam:
1.       Miqot Zamaniyah
Yaitu bulan-bulan haji, mulai dari bulan Syawwal, Dzulqo’dah, dan Dzulhijjah.
2.       Miqot Zamaniyah
yaitu tempat mulai berihram bagi yang punya niatan haji atau umroh.
Ada lima tempat
1.       Dzulhulaifah (Bir ‘Ali), miqot penduduk Madinah
2.       Al Juhfah, miqot penduduk Syam
3.       Qornul Manazil (As Sailul Kabiir), miqot penduduk Najed
4.       Yalamlam (As Sa’diyah), miqot penduduk Yama
5.       Dzat ‘Irqin (Adh Dhoribah), miqot pendudk Irak. Itulah miqot bagi penduduk daerah tersebut dan yang melewati miqot itu.
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

يَهِلُّ أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ مِنْ ذِيْ الْحُلَيْفَةِ وَأَهْلُ الشّامِ مِنَ الْجُحْفَةِ وَأَهْلُ نَجْدٍ مِنَ الْقَرْنِ. قالَ عَبْدُ اللهِ: وَبَلَغَنِي أَنَّ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قالَ: وَيَهِلُّ أَهْلُ الْيَمَنِ مِنْ يَلَمْلَمْ
Penduduk Madinah melakukan ihram mulai dari Dzu Al-Hulaidah, penduduk Syam mulai dari Juhfah, penduduk Najed mulai dari Qarn.” Abdullah berkata, “Dan telah sampai kabar kepadaku bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Dan penduduk Yaman melakukan ihram mulai dari Yalamlam.” (HR. Al-Bukhari no. 1525 dan Muslim no. 1182)
Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma berkata:

وَقَّتَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لأهل المدينة ذا الحليفة، ولأهل الشام الجحفة ولأهل نجد قرنَ الْمَنازِلِ، ولأهل اليمن يلملم. فَهُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ لِمَنْ كانَ يُرِيْدُ الْحَجَّ أَوِ الْعُمْرَةَ. فَمَنْ كانَ دُوْنَهُنَّ فَمَهَلُّهُ مِنْ أَهْلِهِ، وَكَذَلِكَ أَهْلُ مَكَّةَ يَهِلُّوْنَ مِنْهَا
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menentukan miqat bagi penduduk Madinah adalah Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam adalah Juhfah, bagi penduduk Najed adalah Qarn Al-Manazil, dan bagi penduduk Yaman adalah Yalamlam. Miqat-miqat ini bagi penduduk negeri-negeri tadi dan juga bagi penduduk negeri lain yang datangnya dari jalur negeri mereka, bagi yang ingin berhaji atau umrah. Siapa yang tinggalnya setelah miqat-miqat ini maka ihramnya dia mulai dari rumahnya, demikian pula penduduk Makkah mereka melakukan ihram dari rumah mereka masing-masing.” (HR. Al-Bukhari no. 1526 dan Muslim no. 1181)
Peta Miqot Berbahasa Arab
peta miqot berbahasa arab
Peta Miqot Berbahasa Indonesia
peta miqot berbahasa indonesia

Catatan:
1.       Penduduk Makkah yang ingin berihram haji atau umrah, maka hendaklah ia ke tanah halal, yaitu di luar tanah haram dari arah mana saja.
2.       Tidak boleh bagi seseorang yang berhaji atau berumroh melewati miqot tanpa ihram. Jika melewatinya tanpa ihram, maka wajib kembali ke miqot untuk berihram. Jika tidak kembali, maka wajib baginya menunaikan dam (fidyah), namun haji dan umrahnya sah. Jika ia berihram sebelum miqot, maka haji dan umrahnya sah, namun dinilai makruh.
Narasumber: Ummul Hamam, www.rumaysho.com (dengan sedikit tambahan dari www.alhiraindonesia.com)

7 Wasiat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada sahabat Abu Dzar

7 Wasiat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada sahabat Abu Dzar

Abu Dzar berkata:
“Kekasihku (Rasulullah) shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal:
(1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka,
(2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku,
(3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku,
(4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan laa hawla wa laa quwwata illa billah (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah),
(5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit,
(6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan
(7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia” (HR. Ahmad 5: 159, shahih).

Sunday, March 11, 2012

RINGKASAN SIFAT SHOLAT NABI

RINGKASAN SHIFAT SHALAT NABI



1. MENGHADAP KA’BAH

1. Apabila anda – wahai Muslim – ingin menunaikan shalat, menghadaplah ke Ka’bah (qiblat) dimanapun anda berada, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, sebab ini termasuk diantara rukun-rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpa rukun ini